Dari manakah salju itu berasal? Ada yang mengatakan itu adalah lambang kesedihan puteri salju ketika menikah dengan pangeran angin yang terjadi pada musim dingin. Para ahli berpendapat kalau salju adalah uap air yang berada di udara, ketika suhu sangat dingin maka akan berubah menjadi salju.
Butiran lembut itu
terus turun, menempel di semua tempat, jalanan, badan pesawat, saku, selokan,
dedaunan, ransel dan atap rumah. Semuanya putih, itulah pemandangan yang aku
lihat pertama kali menginjak kota ini, pada bulan januari. Bulannya musim
dingin.
Semula aku menganggap
London adalah kota indah, kota metropolitan dengan segenap kemewahannya. Namun
satu jam kedatanganku di sini persepsiku salah, aku melihat ribuan malaikat
maut sedang mengintai, di halte bandara, di jalanan, di pinggir sungai bahkan
di menara jam yang terkenal megah itu. yang senantiasa akan menunggu tubuhku
lengah menjaga rasa dingin yang kelwatan ini. Kalau saja malaikatku terlambat
datang, malaikat maut pasti akan berpesta pora setelah menghabiskanku dengan
ganasnya. Satu jam malaikat itu terus mengawasi gerak-gerikku, memperhatikan
kelengahanku. Nyaris, kota ini menjadi kenangan terburuk sebelum kematianku.
Tubuhku menggigil hebat, udara dingin menggigit
sampai ke tulang. Saat baru keluar dari pintu pesawat, udara dingin menusuk wajahku
dan menjilat bagian tubuh manapun yang tidak tertutup pakaian. Butiran-butiran
putih itu terus menghujani Bandar
Udara Internasional London, Heathrow di Hillingdon, London Barat. Bandara yang dijuluki
bandara tersibuk di dunia ini tetap beroperasi Meskipun hujan salju terus
menerus turun. Ratusan pesawat berjejer di lima terminal Bandara ini.
Desakan orang bergerombolan di pintu kedatangan membuat
napasku sesak. Semuanya sibuk untuk segera keluar dari kepungan udara dingin,
ke dalam taksi, ke mobil jemputan, ke dalam kantor maskapai atau ke mana saja
tempat yang ada penghangatnya. Lolongan mesin jet terus menerus terdengar tanpa
hentinya bagaikan teriakan serigala yang kehausan darah. Tidak ada satupun yang
menarik perhatianku. Aku hanya fokus pada satu hal, yaitu rasa dingin yang sangat
menyiksa. Dari informasi yang saya dapatkan di Bandara, suhu mencapai -10
C. Apa tidak gila!. tubuhku sudah seperti mayat, nyaris tak satupun yang
terlihat, hanya mata, itupun aku tutup dengan menggunakan kaca mata hitam.
Selama di Padang aku tidak pernah merasakan gigitan udara
sedingin ini. ini sudah melewati batas Homeostatis—Batas
daya tahan tubuh manusia dengan suhu yaitu kisaran antara 250C-410C
– aku kahawatir tubuhku takkan bisa
mengatasinya.
Kota London begitu marah denganku, aku tak ubahnya seperti
mahasiswa baru yang baru saja masuk ke perguruan tinggi. orang-orang bilang itu
namanya Ospek. Ya aku sekarang sedang kena ospek oleh udara London yang kejam.
Mataku terus berkeliaran mencari di mana temanku, yang
katanya telah menungguku sore ini, jam 15:00 aku mondar-mandir mencari sosok yang kukenal
itu. ia telah berjanji menunggu tepat di tiang tengah ruang tunggu. Namun di sini
banyak sekali tiang tunggu. Hampir semua tiang telah aku periksa tetapi tak
satupun kutemukan makhluk aneh, teman setiaku dulu. Namanya Anggi Nugraha.
Tak terasa air mataku menetes melewati sudut mataku. Aku teringat ibu, enah kenapa adegan saat aku membantah perkataan ibu terputar kembali dalam memori yang pernah kusimpan. Selama ini, walaupun aku tidak sampai sejahat Malin Kundang, tapi aku tidak terlalu peduli dengan ibu, kadang aku ngomel di belakang saat di suruh sesuatu. Aku juga sering tidak sholat akhir-akhir ini, apalagi setelah aku tamat SMA, hidupku bebas dan jarang pulang kerumah. Untung aku masih sempat bekerja dan menyisihkan uang untuk ongkos ke London. Aku hanya mengharapkan uluran tangan dari Anggi.
Aku ingat Anggi adalah makhluk karet yang pernah aku kenal, dulu ketika sekolah SMA di kaki Gunung Singgalang, dia selalu datang terlambat, sehingga ia terkenal dengan julukan Pak Siput. Padahal jalannya tidak lamban seperti siput bahkan ia pernah mendapat juara lomba lari. Aku tahu penyebab ia terlambat,setiap pagi ia memperhatikan kawanan burung pipit yang terbang dari atas pohon pinang di pinggir kali. Setiap pagi ia selalu pergi dengan disiplin. Burung pipit selalu bertelur dengan disiplin dan tidak pernah ia datang terlambat . Bahkan karena seringnya ia memperhatikan burung pipit di kaki bukit ini ia sampai tahu kapan burung itu akan bertelur lagi, kapan burung pipit akan menetas, kapan mencari makan. Setelah aku tahu hobinya mengamati burung-burung itu maka aku sarankan ia untuk masuk jurusan Biologi. Sekarang ia telah mesuk ke jurusan biologi di Cambridge University.Namun apakah masih ada burung pipit di sini? Apakah kota semegah London banyak beterbangan burung pipit yang menjadi spesies kebanggaan di desa kami?.apakah masih ada sifat tidak disiplin dalam diri Anggi? Atau ia sudah lupa denganku? Yang 13 jam lalu aku telepon sebelum masuk pesawat.
LIHAT SEMUA
Tak terasa air mataku menetes melewati sudut mataku. Aku teringat ibu, enah kenapa adegan saat aku membantah perkataan ibu terputar kembali dalam memori yang pernah kusimpan. Selama ini, walaupun aku tidak sampai sejahat Malin Kundang, tapi aku tidak terlalu peduli dengan ibu, kadang aku ngomel di belakang saat di suruh sesuatu. Aku juga sering tidak sholat akhir-akhir ini, apalagi setelah aku tamat SMA, hidupku bebas dan jarang pulang kerumah. Untung aku masih sempat bekerja dan menyisihkan uang untuk ongkos ke London. Aku hanya mengharapkan uluran tangan dari Anggi.
Aku berjanji dalam hatiku jika aku selamat dari maut ini aku
akan berubah menjadi orang baik. aku ingin mempperbaiki semuanya. Namun apakah
aku masih diberikan kesempatan untuk membenahi diri. Apakah masih ada waktu
untukku. Apakah ini peringatan dari Allah atau sekarang paling lambat malam
nanti aku telah mati kedinginan. Aku membaca hafalan yang masihku ingat waktu
mengaji Al-Quran, hanya beberapa ayat saja yang masih hafal.
Mataku terpejam, di sebuah kursi tunggu. Seluruh tubuhku diselimuti
oleh pakaian. Tak ada yang tahu denganku. Telah satu jam aku tertahan di sini.
Satu jam didera oleh kedinginan yang sangat dahsyat. Dalam tidurku, aku merasa ada
tangan halus yang membelai punggungku, aku hanya berharap inilah malaikat yang
sengaja dikirim oleh Allah untukku.
“ Anggi!” Langsung aku peluk sahabatku itu. Harusnya aku
marah, karena sudah satu jam aku menunggunya. Hampir saja aku mati membeku di sini.
Namun, aku tidak bisa karena rasa rinduku lebih besar dari pada kebencianku.
“ Herman!” Anggi setengah berteriak, kami seolah sedang
mengulang masa sekolah dulu. dialah sahabatku. Namun sekarang ia telah berubah
status menjadi mahasiswa universitas berkelas Internasional seperti Cambridge.
Aku tidak bisa marah padanya, bukan karena ia mahasiswa universitas itu. tapi
karena aku yakin ada alasan yang jelas.
“ kamu tahu Anggi! Aku hampir mati kedinginan selama satu
jam aku menunggumu. Ke mana saja kamu. Apakah kamu terlambat karena melihat
burung pipit?” Aku berbicara santai sambil memancing tawanya. Namun hatiku
sungguh kesal tapi aku tidak bisa marah, ya aku ingat karena aku menganggap
kalau Anggi ini adalah saudaraku.
“ Sekarang jam berapa. Kamu bilang lewat telepon kemarin
kamu berangkat jam 20:00, jadi waktu itu di London jam 2:00 pagi, jadi jika
waktu penerbangannya 13 jam maka kamu akan sampai di sini jam empat sore ya
kan!”
“ Tapi yang kamu hitung itukan waktu Indonesia.”
“ Astaghfirullah! Aku baru ingat waktu itu kamu di Malaysia!
Pantas aku telat satu jam. Maafkan aku Herman!”
Kami berdua tertawa sejadi-jadinya. Kami sekarang adalah
korban keganasan waktu. Gara-gara waktu, aku hampir saja mati membeku di kota
Ratu Elizabeth ini. kami tidak peduli orang memandang aneh kami, dua orang berwajah
Asia tenggara tertawa cengengesan di negaranya.
“ Percuma saja kamu kuliah di Cambridge, ngitung itu saja kamu tidak becus!” aku
tertawa lagi, sekarang aku telah memukul telak sahabatku ini.
“ Kamu juga tidak bilang kalau kamu sedang di Malaysia waktu
kamu menelponku, sih.”
“ Pokoknya kamu harus tebus kesalahanmu. Aku mau dilayani
seperti pangeran William, aku ingin kamu menjadi pelayanku selama tiga hari.
Aku ingin menjadi pengeran di negerinya pangeran ini.”
“ Terserah kamu lah. Mana ada raja pengangguran seperti
kamu!”
Tawa kami pecah. Sudah setahun kami tidak bercanda seperti
ini, taksi yang kami tumpangi membelah jalanan kota London. Untuk mencapai
apartment Anggi kami harus naik kareta underground,
yang merupakan kareta pertama di dunia. Kami terus bercanda sepanjang
perjalanan bahkan sampai di apartment. Rasanya kisah persahabatan di kaki
Gunung Singgalang masih menyimpan sejuta keindahan. Walaupun sekarang kami
tengah menyaksikan kota metropolitan raksasa dengan segenap kemewahannya. Kami
berdua kembali merangkai mimpi-mimpi yang telah sama-sama kami janjikan dulu.Aku ingat Anggi adalah makhluk karet yang pernah aku kenal, dulu ketika sekolah SMA di kaki Gunung Singgalang, dia selalu datang terlambat, sehingga ia terkenal dengan julukan Pak Siput. Padahal jalannya tidak lamban seperti siput bahkan ia pernah mendapat juara lomba lari. Aku tahu penyebab ia terlambat,setiap pagi ia memperhatikan kawanan burung pipit yang terbang dari atas pohon pinang di pinggir kali. Setiap pagi ia selalu pergi dengan disiplin. Burung pipit selalu bertelur dengan disiplin dan tidak pernah ia datang terlambat . Bahkan karena seringnya ia memperhatikan burung pipit di kaki bukit ini ia sampai tahu kapan burung itu akan bertelur lagi, kapan burung pipit akan menetas, kapan mencari makan. Setelah aku tahu hobinya mengamati burung-burung itu maka aku sarankan ia untuk masuk jurusan Biologi. Sekarang ia telah mesuk ke jurusan biologi di Cambridge University.Namun apakah masih ada burung pipit di sini? Apakah kota semegah London banyak beterbangan burung pipit yang menjadi spesies kebanggaan di desa kami?.apakah masih ada sifat tidak disiplin dalam diri Anggi? Atau ia sudah lupa denganku? Yang 13 jam lalu aku telepon sebelum masuk pesawat.
Ribuan pertanyaan membuncah di dalam benakku, terus menerus
menyandera pikiranku. Jika tidak ada Anggi aku akan menjadi gelandangan di kota
ini, berjalan di pinggir jalan yang dingin, jika malam hari bisa hipotemia—kedinginan yang tidak
terkendali— dan seluruh darahku membeku. Dan aku mati mengenaskan di sudut kota
ini tanpa seorangpun tahu dari mana asalku. Dan besoknya koran menaruh berita
tentang diriku di pojok halamannya. Tak
penting sama sekali bagi orang, atau aku mati kemudian dilempar seperti sampah
oleh orang Inggris ke Samudera Atlantik. Selat yang maha ganas, di sana aku
dimakan kawanan ikan yang kelaparan dan arwahku gentayangan bersama dengan arwah-arwah
korban kapal Titanic.
Namun aku tetap yakin pada Anggi dia adalah sahabat terbaik
yang pernah kupunya saat kami SMA bagaimana mungkin ia lupa denganku, dulu kami
adalah teman baik, kami pernah mendaki Gunung Singgalang berdua. Mencari burung
ke dalam hutan di lereng gunung, bahkan aku pernak menolongnya ketika hampir
jatuh masuk ke jurang di kaki gunung waktu kami mencari ikan di sungai. Kami
berdua sudah seperti saudara kandung, bahkan lebih karena Anggi tidak pernah
akur dengan saudara kandungnya, tetapi denganku ia begitu akrab.
Semua kenangan itu teringat. Tubuhku sekarang kembali
menggigil hebat. Aku harus terus bergerak, berlari dan melompat di antara
ribuan orang yang berlalu lalang. Bahkan aku berusaha berlari sambil menenteng
koper besar, aku tak peduli. Aku harus terus bergerak agar darahku tidak
membeku.
Setengah jam berlalu, aku harus segera bertemu dengan Anggi.
Aku ingin beristirahat di apartementnya atau tempat apapun yang penting ada
penghangat ruangannya. Hanya itu. tapi kemanakah Angg?i kenapa sudah setengah
jam aku menunggu ia belum datang juga?
Melihat orang yang sedang menelpon tiba-tiba aku ingat HP,
siapa tahu ini bisa membantuku. Ketika layarnya menyala terang tenyata tak
sepotong sinyalpun yang aku lihat. Aku baru ingat mana berlaku kartu GSM Malaysia,
di London. Aku memang transit dulu ke
Kuala Lumpur karena tidak ada penerbangan dari Padang ke London. Ingin
kubanting, segera aku urungkan. Aku ingin bertanya kepada orang yang berlalu
lalang di mana ada orang yang menjual kartu perdana. Tapi tak ada satupun yang
bisa menunjukkan tempatnya, karena memang tidak ada tempat penjualan kartu
ataupun pulsa di sekitar bandara.
Penderitaanku memuncak saat udara semakin menurun, sekarang
menjadi -30C. Peningkatan
suhu di akibatkan peningkatan jumlah
salju yang jatuh dari langit. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kemampuan
bahasa inggrisku juga tidak terlalu baik, aku hanya tamatan SMA yang tergiur
dengan Anggi yang telah sukses kuliah di sini. Ia bekerja part time disebuah toko. Aku benar-benar ingin seperti dia. Makanya
ketika ia menelpon ke HPku, aku langsung menyampaikan keinginanku untuk
melanjutkan kuliahku. Satu tahun jadi pengangguran telah membuatku menjadi
makhluk nekad. Aku nekad melompati puluhan Negara untuk sampai di sini. Perjalanan
yang memakan waktu 13 jam penerbangan, mengingatkan aku betapa jauhnya tempat
ini. di sini aku tidak punya siapa-siapa, hanya Anggi. Dialah satu-satunya
harapanku. Jika ia tidak ada aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya
aku. Ditelan oleh musim dingin yang kejam di bulan Januari ini.
Sudah empat puluh menit aku menunggu di sini, sekarang untuk
bergerakpun aku nyaris tidak bisa lagi. Seluruh selimut tebal yang aku bawa
dari kampung aku bongkar dari koper, dengan harapan bisa mengusir rasa dingin
ini. hujan salju terus turun, hari semakin sore, udara semakin dingin. Jika
sampai malam Anggi tidak datang aku khawatir dengan keselamatanku. Perkiraan
suaca malam ini mencapai -70C. Jika Anggi tidak datang, aku benar-benar akan jadi bangkai di sini.LIHAT SEMUA
0 komentar:
Post a Comment
Komentarlah Dengan kata-kata yang sopan